A Gift

3 minute read

This is a work of fiction. Unless otherwise indicated, all the names, characters, businesses, places, events and incidents in this book are either the product of the author's imagination or used in a fictitious manner. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.

Rio de Janeiro 2016

Di ruangan ukuran sekitar 4x4 ini aku menunggu giliran, hanya ada kursi meja dan air dispeser untuk minum.

Announcer : “For number 4, please prepare yourself, we will give you 5 minutes”

Lets do it.

Daria terlihat menawan saat itu, bulunya hitam mengkilap karena rajin disemir. Sepatunya pun baru di-press seminggu lalu saat sampai shelter, semua serba baru kecuali pelana nya masih pemberian abah.

Ku helai kepalanya dan membisikan ‘mantra’ ala kami

If you build it, they shall come

Tehran 5 bulan setelah Rio

“Nduk, sudah pukul 5. Ayo bangun”
“Baik bund”

Tidak banyak yang bisa kulakukkan ketika di rumah, bersih-bersih, pergi ke ladang, membantu kedai dan berkuda. Mungkin akan bergitu seterusnya sampai aku bisa naik ke podium. Hah, mimpi disiang bolong memang indah.

Kami hidup jauh dari kemewahan hanya ada Abah, Bunda, dan aku. Pengunungan dan kuda adalah dua hal yang lekat sejak aku lahir. Abah seorang guru Judo dan Bunda merupakan pemilik kedai ruti yang cukup laris.

Besok adalah akhir pekan, hari dimana biasanya abah mengajak aku berburu. Karena sejak pelatnas untuk Rio aku sama sekali jauh dari keluarga selama setahun. Sekaligus waktu untuk kami berbincang berdebat tanpa ada bunda yang menengahi.

Keesokan harinya.

“Hari ini kita ambil rute selatan ya”
“lebih sebentar lama dari biasanya ya”
“tidak mengapa, kita bisa makan siang dan duduk-duduk di lembah”
“…oke”

Jeep tahun 96 ini sudah menjadi saksi bisu pejalanan aku dan abah untuk berburu, joknya yang entah sudah tidak nyaman diduduki terlalu lama karena membuat bokong kaku seperti kanebo. Biasanya kami hanya mengemudi selama 20menit sampai lembah lalu tracking sampai menemui babi hutan.

1203 mdpl ketinggian yang ditampilkan jam tanganku, sudah 30 menit kami lewati dan babi keparat atau apapun hewan yang akan kami buru belum jug. Berbagai topik mulai dari perjodohan ku, latihan berkuda, cuaca, sampai pemerintahan sudah kami guncang. Namun entah kenapa soal Rio tidak terucap dari mulut Abah, tepatnya bagaimana aku dipecundangi oleh takdir.

Abah mengepalkan tangan nya dan mengisyaratkan untuk tenang, diam tepatnya. Melihat dari binocular dan mengopernya ke arahku. Tepat diujung teropong ini kulihat rusa yang sedang berjalan tergopoh-gopoh. Abah memasang persiapan, memasukan peluru kaliber 3 mm ke senapannya.

“No, dont. Itu bukan hama”
“Kelihatanya ada pemburu liar yang tembakanya meleset, hes in pain, look”
“Kita ga datang ke sini untuk rusa itu”
“We can end it really fast”
“YOU can, not me!!” barusan adalah emosi ku yang meluap tanpa sadar.

“If you shoot that deer in front of me, because he’s in pain, what about me?! don’t you think your half cripple daughter will ended the same” *Breathe heavily

“…. Its different, you are my daughter”
“Yes, Doesn’t change the fact I barely walk now”
“If you think about Rio, I’m proud of you”
“OK, name one that actually meaningful”

“You are my most diligent, brave woman I ever know”

“Kanan atau kiri arah anginnya?”
“Kiri, lihat awan nya”
“No, its right”
“Left, trust me”
“Ok then,”

Abah menarik pelatuk dan dentuman peluru melesat tepat mengenai Rusa itu dari teropong kusasikan sosok perkasa itu ambruk. Butuh waktu 40 menit untuk abah mengubur jasad rusa sembari aku menunggu di dekat jeep.

Singapura pasca operasi

“Then if I may offer a two of advice”
“Please be careful onward”
“yes i will, thank you. And the last one?”
“you may want to open this letter, its from your father”

Abah menitipkan sepucuk surat dengan tulisan tanganya sendiri. Surat ini dibuka denan puisi gibran

Anakmu bukanlah milikmu,

mereka adalah putra putri sang Hidup,

yang rindu akan dirinya sendiri.


Mereka lahir lewat engkau,

tetapi bukan dari engkau,

mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

...

Engkaulah busur asal anakmu,

anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,

Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,

hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

...

sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

Sebagaimana ku menamai mu Azadeh yang berarti bebas.

Tidak terasa air jatuh dari pelupuk mata, apakah ini benar maksud nya. Ku kira syarat Abah masih berlaku dapat naik ke podium untuk aku mendapat kebebasanku sendiri.

And as the doctor passed by, I received the gift and probably not the most fancy one. But the one I’m craving for freedom.

Tags:

Updated: